Suriah Bangkit: Harapan di Tengah Tantangan - Berita Sipahutar

Post Top Ad

Suriah Bangkit: Harapan di Tengah Tantangan

Suriah Bangkit: Harapan di Tengah Tantangan

Share This
Damaskus, 23 September 2025 – Suriah, negeri yang telah melalui badai perang selama 14 tahun, kini melangkah penuh harapan menuju era baru. Sejak kejatuhan rezim Bashar al-Assad pada Desember 2024, pemerintahan transisi di bawah Presiden Ahmed al-Sharaa telah menyalakan semangat pemulihan nasional. Dengan dibentuknya Kementerian Manajemen Darurat dan Bencana pada Maret 2025, pemerintah menunjukkan komitmen kuat untuk merekonstruksi negeri yang porak-poranda. Meski tantangan masih besar, langkah awal ini menjadi sinar optimisme bahwa Suriah akan kembali bangkit, dengan sekolah-sekolah mulai dibuka dan jalan-jalan perlahan diperbaiki.

Pemerintah transisi bekerja keras membangun fondasi baru, dengan Konferensi Dialog Nasional pada Februari 2025 menjadi tonggak awal untuk menyatukan rakyat. Meski masih ada kritik atas keterlibatan kelompok minoritas yang terbatas, upaya ini menunjukkan niat tulus untuk merangkul semua elemen masyarakat. Kementerian baru ini telah memulai proyek-proyek kecil, seperti perbaikan jalan pedesaan di Harasta-Douma sejak Mei lalu, yang kini menjadi simbol harapan bahwa pembangunan besar akan segera menyusul. Dukungan dari negara tetangga seperti Yordania dan Arab Saudi juga mengalir, membawa angin segar bagi pemulihan infrastruktur.

Meski kerusakan akibat perang sangat luas, dengan lebih dari separuh infrastruktur hancur, semangat untuk bangkit tak pernah padam. Pembersihan ranjau dan puing di kota-kota seperti Aleppo dan Homs mulai dilakukan, didukung oleh organisasi internasional seperti UNICEF dan Norwegian Refugee Council (NRC). Di Idlib, puluhan kelas telah direhabilitasi, memungkinkan anak-anak kembali belajar meski dalam kondisi sederhana. Laporan Bank Dunia pada Agustus 2025 menyebutkan bahwa dengan pendanaan yang tepat, Suriah bisa memulai pemulihan penuh dalam dekade mendatang, sebuah prospek yang membangkitkan optimisme.

Pendidikan menjadi salah satu fokus utama, dengan tahun ajaran 2025-2026 yang dimulai pada September ini membawa senyum bagi jutaan anak. Meski banyak sekolah masih berupa tenda darurat, langkah kecil seperti rehabilitasi Sekolah Al Tabni di Deir ez-Zor menunjukkan bahwa masa depan cerah sedang dibangun. UNICEF melaporkan bahwa ratusan sekolah mulai beroperasi kembali, dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan gaji guru menjadi sinyal positif bahwa pendidikan akan terus diprioritaskan. Anak-anak Suriah, yang telah lama kehilangan hak belajar, kini melihat harapan baru.

Ekonomi Suriah memang masih rapuh, dengan inflasi tinggi dan listrik terbatas, namun langkah berani pemerintah untuk menolak pinjaman asing demi kemandirian menunjukkan visi jangka panjang. Pencabutan sebagian sanksi AS oleh pemerintahan Trump membuka peluang impor material bangunan, sementara investasi dari negara Teluk seperti Qatar mulai mengalir untuk proyek energi dan infrastruktur. Konferensi Brussels IX pada Maret 2025 mungkin belum memenuhi target pendanaan, tapi komitmen global untuk mendukung Suriah terus tumbuh, menjanjikan hari-hari yang lebih baik.

Di tengah tantangan, Suriah menunjukkan ketangguhan luar biasa. Konflik sporadis di wilayah timur, seperti ketegangan yang ditimbulkan SDF dan milisi separatis Druze dsn Alawite memang masih menjadi hambatan, tapi dialog yang difasilitasi pemerintah transisi perlahan membuahkan hasil. Integrasi kelompok-kelompok bersenjata ke dalam institusi negara menjadi agenda utama, dengan harapan menciptakan stabilitas yang mendukung pembangunan. Kehadiran investor asing yang mulai melirik Suriah juga menambah optimisme bahwa roda ekonomi akan segera berputar.

Sementara itu, peran Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menjadi sorotan, dengan pertanyaan mengapa belum ada utusan khusus untuk Suriah seperti di Afghanistan. Meski demikian, ada alasan untuk tetap optimis. OKI, yang mengembalikan keanggotaan penuh Suriah pada Maret 2025, kini mulai menjadikan krisis Suriah sebagai prioritas. Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Istanbul pada Juni lalu menegaskan komitmen untuk mendukung pemulihan, dan ada harapan bahwa utusan khusus akan segera ditunjuk jika transisi politik semakin stabil.

Berbeda dengan Afghanistan, di mana OKI menunjuk Tarik Ali Bakheet sebagai envoy sejak 2021 untuk membantu koordinasi bantuan dan dialog, situasi Suriah memang lebih kompleks karena fragmentasi politik pasca-perang. Namun, ini bukanlah halangan abadi. OKI telah menunjukkan keberhasilan di Afghanistan dengan memfasilitasi bantuan senilai jutaan dolar dan dialog ulama, dan pengalaman ini bisa menjadi model bagi Suriah. Sekjen OKI Hissein Brahim Taha baru-baru ini menegaskan solidaritas penuh, menandakan bahwa dukungan lebih besar sedang dipertimbangkan.

Faktor geopolitik memang memengaruhi keterlibatan OKI, dengan fokus utama organisasi masih tertuju pada Palestina. Namun, krisis Suriah yang melibatkan jutaan pengungsi Muslim mulai mendapat perhatian serius. Negara-negara anggota seperti Turki dan Qatar telah menyalurkan bantuan bilateral, dan ada potensi OKI akan mengambil peran lebih besar sebagai penengah antar-komunitas di Suriah, seperti yang dilakukan di Kabul. Langkah ini akan mempercepat rekonstruksi dan membawa harapan bagi rakyat Suriah.

Pemerintah al-Sharaa terus menyerukan keterlibatan OKI dan penghapusan seluruh sanksi ekonomi yang ditujukan Suriah era Assad, yang juga menekankan pentingnya solidaritas Islam untuk rekonsiliasi nasional. Respons OKI yang kini mulai bergeser ke arah tindakan konkret memberikan keyakinan bahwa Suriah tak akan berjuang sendirian. Dengan stabilitas politik yang terus membaik, penunjukan utusan khusus OKI bisa menjadi kenyataan dalam waktu dekat, membawa koordinasi bantuan yang lebih terarah.

Di lapangan, tanda-tanda kecil pemulihan terus bermunculan. Di Raqqa, puluhan sekolah yang direhabilitasi oleh NRC kini ramai dengan suara anak-anak, sementara di Damaskus, pasar-pasar lokal mulai hidup kembali. Meski listrik masih terbatas, inisiatif energi terbarukan yang didukung investor Teluk menjanjikan perubahan. Komunitas lokal, dari Idlib hingga Deir ez-Zor, juga menunjukkan semangat gotong royong, membantu membersihkan puing dan membangun kembali rumah mereka.

Anak-anak Suriah, yang telah kehilangan satu dekade pendidikan, kini menjadi simbol harapan terbesar. Program pendidikan sementara, seperti yang dijalankan NRC di kamp-kamp pengungsi, membuktikan bahwa setiap langkah kecil berarti. Dengan lebih banyak sekolah yang mulai dibuka, impian untuk melihat generasi muda Suriah kembali ke bangku sekolah bukan lagi khayalan. Dukungan dari UNICEF dan organisasi lain terus mengalir, membawa optimisme bahwa pendidikan akan menjadi pilar pemulihan.

Tantangan ekonomi memang masih nyata, dengan biaya hidup yang tinggi dan pengangguran yang meluas. Namun, langkah pemerintah untuk mendorong investasi swasta dan membangun kemitraan dengan Bank Dunia menunjukkan visi yang jelas. Inisiatif seperti penggalangan dana domestik juga menunjukkan semangat kemandirian rakyat Suriah, yang tak ingin bergantung sepenuhnya pada bantuan asing. Dengan sanksi yang mulai dicabut, pintu perdagangan internasional pun terbuka lebar.

Keberhasilan kecil di berbagai wilayah menjadi bukti bahwa Suriah mampu bangkit. Di Aleppo, pasar tradisional mulai ramai, dan di Homs, komunitas lokal bekerja sama memperbaiki saluran air. Proyek-proyek ini, meski sederhana, menunjukkan bahwa roda pembangunan telah berputar. Dengan dukungan dari negara-negara tetangga dan komunitas internasional, Suriah memiliki peluang untuk membangun masa depan yang lebih stabil dan sejahtera.

Peran OKI, meski belum maksimal, tetap menjanjikan harapan. Pengalaman sukses di Afghanistan, di mana utusan OKI membantu membuka sekolah dan menyalurkan bantuan, bisa menjadi inspirasi. Jika OKI segera menunjuk utusan khusus untuk Suriah, seperti yang diharapkan pada KTT mendatang, koordinasi bantuan akan lebih terarah, mempercepat pemulihan sekolah dan infrastruktur. Solidaritas Islam bisa menjadi kekuatan pendorong, seperti yang telah terbukti di Kabul.

Masyarakat internasional juga mulai menunjukkan komitmen baru. Pencabutan sanksi AS dan janji bantuan dari Bank Dunia menjadi sinyal bahwa Suriah tak lagi terisolasi. Negara-negara Teluk, dengan kekuatan finansial mereka, siap berinvestasi dalam proyek energi dan transportasi, yang akan menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan ekonomi. Ini adalah momen bagi Suriah untuk membuktikan bahwa mereka bisa bangkit dari abu perang.

Rakyat Suriah, dengan ketangguhan mereka, menjadi pilar utama pemulihan ini. Dari kamp pengungsi hingga kota-kota besar, semangat untuk membangun kembali terlihat jelas. Komunitas lokal di Deir ez-Zor, misalnya, telah mulai memperbaiki saluran irigasi, memastikan pertanian kembali hidup. Kisah-kisah seperti ini menginspirasi, menunjukkan bahwa harapan tak pernah padam meski tantangan besar masih ada.

Masa depan Suriah kini bergantung pada kolaborasi semua pihak, dari pemerintah transisi hingga komunitas internasional. OKI, dengan pengaruhnya di dunia Islam, memiliki peluang untuk menjadi jembatan yang menyatukan bantuan dan mediasi. Jika langkah ini terwujud, Suriah bisa mengikuti jejak Afghanistan, di mana solidaritas Islam membawa perubahan nyata. Dunia sedang menunggu, dan Suriah siap melangkah.

Pada akhirnya, Suriah adalah bukti bahwa dari puing-puing perang, harapan bisa lahir. Setiap sekolah yang dibuka kembali, setiap jalan yang diperbaiki, adalah langkah menuju masa depan yang lebih cerah. Dengan dukungan global dan semangat rakyatnya, Suriah bukan hanya akan bangkit, tapi juga bersinar sebagai mercusuar ketahanan dan optimisme di tengah dunia yang penuh tantangan.

Tidak ada komentar:

Post Bottom Ad

Pages