Empat Wajah Identitas Angkola di Sumatera - Berita Sipahutar

Post Top Ad

Empat Wajah Identitas Angkola di Sumatera

Empat Wajah Identitas Angkola di Sumatera

Share This

Di tanah Sumatera bagian barat laut, khususnya di kawasan Tapanuli Selatan, ada satu kelompok masyarakat yang identitasnya sejak dulu menarik perhatian para ahli sejarah dan antropologi. Kelompok ini dikenal dengan sebutan orang Angkola. Bukan hanya karena adat dan budayanya yang kaya, tapi juga karena keragaman identitas sosial yang mereka miliki. Bahkan, sampai sekarang istilah Angkola tidak bisa dimaknai tunggal, sebab di dalamnya terkandung berbagai lapisan identitas sesuai situasi sosial, adat, dan sejarah perjalanan leluhur mereka.

Yang pertama adalah Suku Angkola, yakni masyarakat asli yang tinggal di sepanjang aliran Sungai Batang Angkola, daerah Padangsidimpuan hingga Sipirok dan sebagian Tapanuli Selatan. Mereka memiliki bahasa, adat, dan tradisi sendiri yang berbeda dari Mandailing maupun kelompok Batak lainnya. Suku ini mengklaim diri sebagai komunitas adat mandiri yang punya akar sejarah panjang di daerah itu. Meski beberapa adatnya mirip dengan Mandailing dan Batak Toba, mereka lebih senang disebut Angkola saja.

Seiring waktu, terutama sejak masa kolonial Hindia Belanda, muncul kelompok Batak Angkola, yakni orang Angkola yang karena kebijakan administratif pemerintah kolonial disatukan ke dalam wilayah Bataklanden bersama Mandailing, Toba, Karo, dan Pakpak. Dalam sistem pemerintahan itu, istilah Batak Angkola dipakai untuk mengidentifikasi orang Angkola secara administratif. Namun dalam kehidupan sehari-hari, banyak dari mereka yang tetap lebih suka disebut orang Angkola, tanpa embel-embel Batak.

Berbeda dengan Batak Angkola, ada pula yang disebut Mandailing Angkola, yaitu orang Angkola yang karena proses migrasi, pernikahan, dan pergaulan budaya menjadi bagian dari komunitas Mandailing. Di masa-masa peperangan dan krisis politik abad ke-19, banyak orang Angkola berpindah ke Mandailing Natal. Di sana, mereka menikah dengan masyarakat Mandailing dan perlahan menyatu dalam adat, marga, serta sistem sosial Mandailing. Keturunannya kemudian dikenal sebagai Mandailing Angkola.
Ada pula yang disebut Melayu Angkola, yakni orang Angkola yang sejak abad ke-18 hingga awal abad ke-20 merantau ke daerah-daerah pesisir dan negeri-negeri Melayu seperti Labuhan Batu, Riau, Sumatera Barat, hingga Malaysia dan Singapura. Di daerah-daerah ini, mereka berbaur dengan komunitas Melayu setempat, bahkan dalam banyak hal mengikuti adat dan bahasa Melayu. Walaupun telah menjadi bagian dari komunitas Melayu, orang-orang ini masih tetap menjaga asal usul mereka sebagai keturunan Angkola.

Yang lebih menarik, di kalangan sejarawan lokal Tapanuli Selatan berkembang pula keyakinan bahwa nama Batang Angkola, sungai utama yang membelah wilayah mereka, berasal dari nama seorang raja India kuno yang bernama Rajendra Chola dari Dinasti Chola di India Selatan. Dinasti Chola pada abad ke-11 dikenal sebagai kekuatan maritim besar yang pernah melakukan ekspedisi ke Nusantara. Dipercaya bahwa ekspedisi itu pernah mencapai pantai barat Sumatera dan menanamkan pengaruh budaya maupun sosial di daerah sekitar Sungai Batang Angkola.

Sisa-sisa pengaruh Chola ini dipercaya masih tampak dalam struktur sosial dan penyebaran marga tertentu di Sumatera. Di kalangan masyarakat Karo, ada marga Sembiring Cholia yang diyakini berasal dari keturunan atau komunitas yang terhubung dengan orang-orang Chola India. Di kawasan Simalungun terdapat pula marga Damanik Sola yang disebut-sebut punya keterkaitan dengan pengaruh Chola, begitu juga Suku Salayan di Sumatera Barat walau ada yang menghubungkannya dengan Ceylon di Sri Lanka yan dulu pernah menjadi bagian dari Chola. Begitu juga marga Selian di Aceh Tenggara, yang menurut beberapa tradisi lisan masih menyimpan jejak hubungan dengan komunitas maritim India Selatan tersebut

Tidak hanya di Sumatera, di kawasan Asia Tenggara lainnya, komunitas keturunan Chola dikenal sebagai Cholia di Malaysia, Singapura, Myanmar, dan beberapa negara ASEAN lainnya. Komunitas ini masih eksis, meski perlahan menyatu dalam kebudayaan lokal negeri-negeri perantauan mereka. Di Singapura, komunitas Cholia dikenal sebagai pedagang dan pelaut handal yang dulu kerap berlayar ke Nusantara. Di Malaysia, mereka ada di sekitar Johor dan Selangor.

Hubungan antara Suku Angkola dan keturunan Cholia ini memang belum tercatat secara resmi dalam literatur tertulis, namun cerita lisan dan pola migrasi leluhur di sepanjang pantai barat Sumatera memberikan petunjuk bahwa ada kaitan sejarah yang pantas ditelusuri lebih jauh. Baik lewat kesamaan istilah, adat perkawinan, maupun nama-nama wilayah seperti Batang Angkola itu sendiri.

Di Tapanuli Selatan, beberapa adat Suku Angkola pun memiliki pola ritual maritim yang disebut-sebut sebagai warisan pelayaran kuno. Ada tradisi tertentu yang mengingatkan pada ritual masyarakat pesisir India Selatan, terutama dalam upacara pemberangkatan perahu atau penanaman pohon warisan keluarga dll. Semua ini menjadi bahan kajian antropologi yang menarik untuk dikembangkan.

Meski kini identitas Angkola tersebar dalam berbagai kategori — Suku Angkola, Batak Angkola, Mandailing Angkola, dan Melayu Angkola — semuanya memiliki akar sejarah yang sama dari daerah aliran Batang Angkola. Perjalanan waktu, politik kolonial, migrasi, dan interaksi budaya di sepanjang pesisir Sumatera Barat hingga Selat Malaka telah membentuk ragam identitas ini.

Keempat identitas itu bukanlah sekadar perbedaan istilah, melainkan hasil sejarah panjang yang membentuk corak masyarakat Tapanuli Selatan. Setiap kelompok membawa tradisi masing-masing, baik dalam hal adat pernikahan, upacara kematian, maupun sistem sosial dalam komunitas mereka. Di perantauan, orang Angkola pun tetap menjaga silsilah dan asal usul mereka, meski telah berbaur dengan adat Melayu atau komunitas urban di Malaysia dan Singapura.

Seiring berkembangnya waktu, muncul kesadaran di kalangan generasi muda Angkola untuk kembali menelusuri asal-usul mereka, termasuk meneliti jejak hubungan historis dengan Dinasti Chola dan komunitas Cholia di Asia Tenggara. Kegiatan pertemuan adat lintas negeri pun mulai digelar oleh diaspora Angkola di Malaysia, Riau, dan Sumatera Barat.

Kisah tentang empat identitas Angkola ini menjadi gambaran betapa dinamis dan kompleksnya sejarah masyarakat di Sumatera. Dari sebuah sungai yang diyakini berhubungan dengan ekspedisi Rajendra Chola, lahir berbagai komunitas dengan ragam identitas yang hidup berdampingan hingga kini. Sebuah warisan sejarah yang pantas dijaga dan terus diteliti untuk generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Post Bottom Ad

Pages