Jika Dewan Transisi Selatan (STC) memproklamasikan kemerdekaan Arabia Selatan atau Yaman Selatan, nasib Presiden Yaman, Rashad al-Alimi, akan memasuki fase politik yang unik dan kompleks. Posisi beliau akan mirip dengan presiden negara-negara yang menghadapi situasi dualisme kekuasaan, seperti Palestina atau Suriah, di mana legitimasi formal tetap ada meski kontrol nyata terbagi.
Presiden Palestina misalnya, dalam disebut sebagai 'Presiden Regional' yang membawahi wilayah yang dikuasai Otoritas Palestina, termasuk Tepi Barat dan Gaza serta Israel. Itu terlepas dari anggapan Israel yang memandang Presiden Palestina sebagai 'Presiden Bantustan'.
Analogi ini dapat diterapkan pada Yaman, di mana Rashad al-Alimi tetap menjadi simbol de jure Yaman atau Presiden Regiaonal Yaman, sementara STC menguasai secara nyata wilayah Selatan dan Houthi menguasaha Utara.
Dalam kondisi ini, Presiden Yaman akan “membawahi” berbagai wilayah dengan otonomi nyata masing-masing. STC di Selatan, Houthi di Utara, serta wilayah Marib dan lainnya yang memiliki pemerintahan lokal atau milisi de facto, akan tetap eksis meski secara formal berada di bawah kepresidenan PLC.
Fenomena ini menegaskan dualisme antara kekuasaan de jure dan de facto. Rashad al-Alimi secara hukum tetap kepala negara, tetapi kemampuan operasionalnya terbatas karena banyak wilayah yang dikendalikan kelompok de facto lokal.
Skenario ini serupa dengan situasi Presiden Suriah yang secara resmi membawahi seluruh negeri, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasai milisi Druze Al Hajri di Suwaida atau SDF, yang mengaku mempunyai pemerintahan de facto sendiri.
Sejarah juga menunjukkan contoh lain, seperti Presiden Tiongkok yang secara formal membawahi Hongkong, Macau, dan Taiwan, meski kontrol langsung terhadap Taiwan tidak dimiliki. Kondisi serupa akan membentuk presidensi simbolik bagi Rashad al-Alimi jika STC mendeklarasikan kemerdekaan.
Kondisi dualisme ini akan berimplikasi pada administrasi negara. Aparatur sipil yang loyal pada PLC harus menghadapi kenyataan bahwa banyak wilayah tetap dikendalikan STC atau Houthi, sehingga koordinasi kebijakan dan distribusi anggaran menjadi rumit dan sering tumpang tindih.
Dalam konteks militer, situasi ini menciptakan fragmentasi kendali senjata. STC dan Houthi memiliki pasukan yang efektif di wilayah mereka masing-masing, sementara tentara PLC hanya simbolik di beberapa lokasi strategis. Potensi bentrokan atau konflik lokal akan selalu ada jika ada upaya untuk menegakkan kekuasaan pusat secara paksa.
Rusia pernah mengalami hal ini sementara waktu saat Chechnya sempat memerdekakaan diri sebentarnsebelum invasi kedua terjadi
Ekonomi Yaman juga akan terdampak signifikan. Pengelolaan sumber daya alam, terutama ladang minyak dan pelabuhan di Selatan, akan dikuasai STC. Sementara itu, PLC tetap memegang legitimasi formal atas pendapatan nasional, menciptakan dualisme fiskal yang mirip dengan pengalaman Kurdistan di Irak.
Politik regional akan memasuki fase baru. Arab Saudi kemungkinan besar akan menekankan pentingnya Yaman 'bersatu' secara nominal, meski STC dan Houthi memiliki kendali de facto, sementara UAE mungkin tetap mendukung STC secara politik dan ekonomi, namun berhati-hati untuk tidak menimbulkan konfrontasi langsung dengan Saudi.
Dinamika ini akan memperkuat identitas politik dan simbolik Yaman Selatan. Bendera, lagu kebangsaan, dan simbol kemerdekaan akan diperkuat, sementara Rashad al-Alimi tetap mempertahankan otoritas legal formal atas seluruh negeri.
Di sisi masyarakat, dualisme ini akan menciptakan dilema loyalitas. Penduduk Selatan mungkin lebih mendukung STC karena kontrol nyata, sementara warga utara tetap loyal pada PLC. Polarisasi sosial ini bisa menimbulkan ketegangan jangka panjang jika tidak ada mekanisme dialog yang efektif.
Dalam hubungan internasional, sebagian besar negara kemungkinan akan tetap mengakui PLC sebagai pemerintah resmi Yaman, sama seperti pengakuan internasional terhadap pemerintah Palestina atau Suriah, meski mereka tidak memiliki kontrol penuh di lapangan.
STC, jika memproklamasikan kemerdekaan, akan menghadapi dilema pengakuan. Tanpa legitimasi internasional, mereka bisa menguasai wilayah secara lokal, tetapi kesulitan dalam membangun hubungan diplomatik atau ekonomi global.
Model dualisme ini menegaskan bahwa legitimasi formal dan kendali nyata tidak selalu sejalan. STC akan menjadi entitas de facto yang kuat, sementara PLC tetap menjadi simbol de jure, mirip dengan pengalaman Hongkong, Macau, atau Taiwan bagi Tiongkok.
Konsekuensi lain adalah fragmentasi administratif. Kementerian dan birokrasi mungkin bekerja secara paralel: sebagian di bawah STC, sebagian lain tetap loyal pada PLC. Koordinasi pembangunan, distribusi bantuan, dan manajemen sumber daya akan menghadapi tantangan serius.
Risiko militer juga tinggi. STC bisa mempertahankan wilayahnya dengan kekuatan lapangan, sementara Houthi tetap menjadi ancaman strategis. Konflik terbuka kecil atau medium akan sulit dihindari jika negosiasi gagal.
Fenomena ini akan menciptakan struktur pemerintahan paralel yang stabilitasnya sangat bergantung pada kesepakatan informal dan tekanan diplomatik regional. Tanpa pengakuan internasional atau kompromi internal, ketegangan akan terus berlanjut.
Ekonomi akan tetap menghadapi ketidakpastian. STC mungkin mengelola sendiri pendapatan lokal, sementara PLC mengelola APBN nasional. Ini menciptakan risiko tumpang tindih anggaran, pemborosan, dan konflik kepentingan antara pusat dan wilayah.
Situasi ini juga akan memengaruhi investasi asing. Perusahaan dan lembaga donor internasional harus menavigasi dualisme kekuasaan antara STC dan PLC, mirip dengan pengalaman di wilayah-wilayah yang dikuasai entitas de facto di Palestina dan Suriah.
Secara keseluruhan, jika STC memproklamasikan kemerdekaan Arabia Selatan, Rashad al-Alimi akan menempati posisi yang mirip presiden simbolik atau presidensi paralel, membawahi wilayah yang de facto otonom. Kondisi ini akan menciptakan permanen dualisme politik, administratif, dan ekonomi di Yaman untuk dekade mendatang.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar